Rabu, 05 Oktober 2016

Rakyat Berhak Atas Jaminan Kesehatan


MENGAPA KESEHATAN HAK SELURUH WARGA NEGARA...


Saat ini jasa pelayanan kesehatan makin lama semakin mahal. Tingginya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat, menyebabkan masyarakat kesulitan dalam memperoleh pelayanan kesehatan secara layak. Dengan kecenderungan meningkatnya biaya hidup, termasuk biaya pemeliharaan kesehatan, diperkirakan beban masyarakat terutama penduduk berpenghasilan rendah akan bertambah berat. Biaya kesehatan yang meningkat akan menyulitkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, terutama bila pembiayaannya harus ditanggung sendiri. Persoalan lainnya adalah subsidi yang keluarkan Negara untuk pelayanan kesehatan masih setengah hati. Subsidi tersebut tidak bisa menjamin kesehatan bagi masyarakat dikarenakan masih sangat rendah.

Rakyat Berhak atas Jaminan Kesehatan


Kesehatan yang baik memungkinkan seseorang hidup lebih produktif baik secara sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, kesehatan menjadi salah satu hak dan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, agar setiap individu dapat berkarya dan menikmati kehidupan yang bermartabat. Kemudian sebagai Negara yang berdaulat, pelayanan kesehatan adalah menjadi tanggungjawab sepenuhnya oleh Negara. Sehingga dibuatlah perangkat hukum untuk mengaturnya. Sebagai landasan hukum, Undang Undang Dasar 1945, baik pada Pembukaan maupun pada beberapa Pasalnya, telah memberikan landasan hukum normatif yang kuat, meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan perlindungan dan jaminan sosial.
Misalnya, dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan, bahwa; pembentukan Pemerintah Negara Indonesia ditujukan: “... untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Selanjutnya dalam UU hasil amandemen yakni pasal 28 H ayat (3) menyatakan;
“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia bermartabat.”

Diamanatkan kemudian, bahwa diperlukan adanya suatu sistem perlindungan dan jaminan sosial pada skala nasional sebagaimana diamanatkan pada Pasal 34 Ayat 2 Perubahan UUD 1945 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa; “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat ......”
Sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945 bahwa kesehatan merupakan hak dasar bagi setiap individu dan warga Negara.

Oleh karena itu Jaminan Kesehatan diselenggarakan dan diarahkan dengan tujuan menjamin agar seluruh warga Negara memperoleh manfaat pemeliharaan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Disamping dasar berpijak di dalam negeri, di tingkat internasional, perlindungan dan jaminan sosial juga telah dijamin oleh Deklarasi PBB Tahun 1947 tentang Hak Azasi Manusia. Pemerintah Indonesia seperti banyak negara lain juga telah ikut menandatangani Deklarasi tersebut. Secara tegas, Deklarasi itu menyatakan bahwa;
“... setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak atas jaminan sosial ... dalam hal menganggur, sakit, cacat, tidak mampu bekerja, menjanda, hari tua ...”

Jadi cukup jelas bahwa secara hakekat maupun secara dasar hukumnya, kesehatan merupakan hak sosial bagi seluruh warga Negara tanpa terkecuali. Negara yang berdaulat berkewajiban untuk menjaminnya.

SJSN dan BPJS Menghianati Cita-cita Negara Berdaulat


Kemudian mulai 1 Januari 2014 pemerintah mulai memberlakukan sistem jaminan sosial. Ini adalah tindak lanjut Perpres No. 12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan dan PP 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebagai realisasi UU SJSN. Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditetapkan di Indonesia ini merupakan bagian dari kesepakatan (Konsesus Washington) dalam bentuk Program SAP (Structural Adjustment Program) yang direalisasikan dalam bentuk perjanjian antara IMF (International Monetary Fund) dan Pemerintahan Indonesia untuk mengatasi krisis ekonomi. SJSN ini, konsepnya mengikuti pandangan Barat (Liberal atau sistem Kapitalisme) dalam masalah jaminan sosial, yaitu sistem asuransi. Namanya terdengar bagus, Jaminan Sosial Nasional, tetapi isinya ternyata hanya mengatur tentang asuransi sosial yang akan dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Artinya, itu adalah swastanisasi pelayanan sosial, khususnya di bidang kesehatan. Hal ini bisa dilihat dari isi UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN. Dalam Pasal 1 berbunyi:
“Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.”
Kemudian dilanjutkan pada Pasal 17 ayat (1) yang menyatakan;
“Setiap peserta wajib membayar iuran. (2) Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada BPJS secara berkala.”

Adapun BPJS adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011 Tentang BPJS, yang merupakan amanat dari UU No. 40 Tahun 2004 Tentang SJSN. BPJS akan menjadi lembaga yang memiliki kewenangan luar biasa di negara ini untuk menjarah uang rakyat. Penjarahan ini dilakukan dengan menarik iuran bagi peserta BPJS Kesehatan, seperti dibawah ini:
1 Peserta :PNS/ TNI / Polri/Pensiunan ,Bentuk iuran :5% Per Keluarga. Besar Iuran: 2% dari Pekerja. Keterangan Kelas I dan II Rawat Inap

2 Peserta:Pekerja Penerima Upah , Bentuk iuran :4,5% dan 5% Per Keluarga, Besar Iuran:Hingga 30 Juni 2015: 0,5% dari pekerja dan 4% dari pemberi kerja.Mulai 1 juli 2015 : 1% dari pekerja dan 4 % dari pemberi. Keterangan: Kelas I dan II Rawan Inap

3 Peserta:Penerima Bantuan Iuran (PBI), Bentuk iuran :Nilai Nominal Per Jiwa , Besar Iuran:Rp. 19.225. Keterangan:Kelas III Rawat Inap

4 Peserta: Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja , Bentuk iuran :Nilai Nominal Per Jiwa , Besar Iuran:1. Rp 25.500, 2. Rp 42.500, 3. Rp 59.500. Keterangan: Rawat inap Kelas 3 , Rawat inap Kelas 2, Rawat inap Kelas 1

Dalam logika Iuran tersebut, kesehatan masih dipandang sebagai barang dagangan yang bisa diperjual belikan, bukan sebagai hak sosial yang dipenuhi oleh Negara. Logika iuran inilah yang menempatkan Negara sebagai penjarah uang rakyat. Ironisnya, siapa pun yang tidak membayar Iuran tidak akan dilayani sebagai peserta BPJS Kesehatan. Mekanisme pembayaran asuransi dalam mendapatkan pelayanan kesehatan telah menunjukan bahwa untuk mendapatkan haknya, masyarakat harus membayar sendiri. Sehingga BPJS Kesehatan layaknya sebuah bisnis yang konsumennya adalah warga Negara sendiri. Kemudian Keputusan pemerintah dalam Rakornas lintas kementerian terlihat masih setengah hati dalam memberikan Jaminan Kesehatan, yakni menyebutkan nilai PBI sebesar Rp15.500 per orang-per bulan dengan jumlah peserta 86,4 juta dan total anggaran Rp16,07 triliun.

Sementara itu, Sejak diluncurkan MP3KI (Masterplan Percepatan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia) pada bulan Mei 2012 diarahkan untuk menyasar 40% kelompok masyarakat paling bawah secara ekonomi. Kelompok tersebut adalah 29 juta orang miskin dan 70 juta orang rentan miskin (total 99 juta orang). Ini artinya, kalau pemerintah konsisten dengan MP3KI maka seharusnya memakai angka 99 juta orang miskin sebagai penerima bantuan iuran untuk BPJS Kesehatan. Akan tetapi, jika memakai standar Bank Dunia (World Bank) dalam melihat angka kemiskinan akan jauh berbeda. Bank Dunia menetapkan standar kemiskinan melalui pendapatan sebesar 2 Dollar per hari. Sehingga ada sekitar 49% penduduk Indonesia (116 juta orang) berada dibawah garis kemiskinan. Sehingga sekitar 116 juta orang miskin yang ditanggung oleh Negara.
Dari hal di atas, Negara belum menjalankan sistem jaminan kesehatan yang diamanatkan oleh UUD 1945 yaitu “mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh warga Negara.” Tapi Negara hendak mengalihkan tanggungjawab pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Selain membebani masyarakat, sistem pelayanan kesahatan tersebut bersifat diskriminatif. Sehingga BPJS Kesehatan sebagai lembaga penyelenggara jaminan kesehatan nasional, mestinya harus menjamin 253.609.643 jiwa warga Negara Indonesia tanpa harus membeda-bedakan.

Menagih Janji Pada Pemerintah.

Kita telah mengetahui bahwa Negara belum menjalankan jaminan kesahatan bagi seluruh warga Negara, dan kita juga telah mengetahui bahwa subsidi bagi kesehatan sangatlah rendah. Sehingga berdampak pada sulitnya masyarakat mendapatakan perlindungan dan jaminan kesehatan. Sebagai warga Negara yang sadar akan pentingnya kesehatan, memiliki tugas untuk mendorong Pemerintah (Desa hingga Pusat) agar menjalankan kewajibannya. Karena jaminan kesehatan adalah hak, maka masyarakat patut menagihnya. Negara harus mengadakan layanan kesehatan, sarana dan pra sarana pendukung dengan tujuan melayani kebutuhan masyarakat tanpa diskriminasi. Negara berfungsi sebagai pelayan rakyat, dan bukan sebagai “sales” penjual layanan kesehatan. Oleh karena itu, masyarakat mesti menagih hak atas kesehatan yang telah diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945. Dalam menagih janji ini, masyarakat tidak bisa sendiri-sendiri, melaikan secara bersama-sama. Hal-hal yang dapat dilakun antaralain;

Pertama, secara bersama-sama mendata warga untuk didaftarkan sebagai peserta BPJS Kesehatan serta mengawasi jalannya pelayanan kesehatannya. Karena kurangnya sosialisasi maupun pemahaman, sehingga banyak warga yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan. Terkait pelayanan kesehatan masih sangat rendah dan banyak pintu birokrasi, sehingga pengawasan secara bersama-sama akan memudahkan warga dalam mendapatkan pelayanan kesehatannya.

Kedua, secara bersama-sama, warga mendesak agar tercukupinya rumah sakit di setiap kawasan huni warga dengan tenaga medis terlatih dan ketersediaan sarana yang memadahi. Karena kesehatan adalah kebutuhan primer, maka adanya rumah sakit yang dekat dengan lingkungan warga akan semakin memudahkan warga dalam mengaksesnya Dan untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, tenaga medis haruslah yang terlatih dan professional sebab warga bukan kelinci percobaan.

Ketiga, bersama-sama mendesak pemerintah daerah untuk memberikan subsidi yang lebih besar untuk bagi seluruh warga tampa membedakan golongan. Disinilah peran pemerintah daerah, ia juga berkewajiban menyelenggarakan kesehatan gratis berkualitas bagi wargannya.

Keempat, bersama-sama menuntut kepada pemerintah pusat dan parlemen untuk merevisi atau mencabut Undang-undang yang merugikan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Serta mendesak agar dibuatkan undang-undang kesehatan yang menjamin seluruh warga Negara.

Hal-hal yang dilakukan diatas, akan lebih baik jika WARGA BERORGANISASI. Dengan BERORGANISASI, warga akan mendapatkan pengetahuan yang lebih dan mengetahui hak sebagai warga Negara. Dengan BERORGANISASI juga semakin erat persaudaraan dan akan semakin solid dalam memperjuangkan hak atas kesehatan. Intinya, dengan berorganisasi akan mengangkat harkat dan martabat sebagai warga Negara yang Merdeka.


***Kaum Muda Berjuang & Melawan***
***Sudah Waktunya Sadar, Bangkit, & Melawan***

x

Minggu, 08 Mei 2016

Refleksi Diri & Refleksi Hati



Refleksi Diri


Putaran roda pedati dan deru suara tapal kaki kuda, ditengah pusat keramaian kota, bagaikan sebuah putaran roda waktu yang siap menggilas keangkuhan serta kepongahan para pejalan kaki, yang sibuk dengan dengan jinjingan hasil belanjaan dari sebuah Mall dipusat kota. Sebuah pemandangan yang cukup kontras, dengan kilauan marmer teras mall, ketika berjejer dalam ratapan nasib, para pengemis yang mengadu nasib dari derma para dermawan pengunjung dalam mall kota itu.
Di hiruk pikuknya Ibukota Jakarta kita selalu bertarung dengan waktu, bertarung dengan identitas diri, bertarung dengan kemacetan yang ada, bertarung dengan rutinitas, bahkan kita bertarung dengan kerasnya Ibukota

Ya….memang pertarungan kita sebenarnya bukan terletak pada siapa apa yang menjadi niat kita dalam pertarungan. Karena kemenangan sesungguhnya dari sebuah pertarungan adalah menaklukan kebekuan dan keangkuhan hati kita sebagai seorang manusia.

Ya… kita terkadang lupa untuk mengukur dan menegok siapa diri kita, karna kita selalu merasa kita yang paling mampu, kita yang paling tahu, dan kita yang paling benar atas apa yang kita lakukan. Benar menurut kita belumlah tentu benar menurut orang-orang di sekeliling kita.

Ya….lagi-lagi..ya… kita harus menundukan kepala, meleburkan kebekuan dan keangkuhan hati, karena kemenangan sejati adalah kemanfaatan dari apa yang kita lakukan. Maka bertarunglah apabila memang itu sebuah manfaat bagi kita dan orang-orang di sekeliling kita, karena apabila itu benar, kita dapat menempuh jalan kebijaksanaan.
Ketika diri terlalu sering melihat keluar dibandingkan ke dalam dasar jiwa kita. Ketika itu secara tidak terasa dan tidak sadar kita pernah meremehkan, merendahkan bahkan menghakimi orang lain dengan niat, ucapan dan perbuatan (syahadat) kita. Ya...lagi dan lagi kita membutuhkan refleksi didalam diri kita, sebuah sikap yang bijak apabila kita sering mengkaji, mengintropeksi ke dalam diri kita dibandingkan sibuk mengkoreksi orang lain. Sejatinya jiwa yang berada di dalam diri kita diciptakan murni penuh dengan kebaikan, dibandingkan dengan sifat nafsu semu semata di setiap insan manusia.







Refleksi Hati

Hati dan pikiran adalah suatu yang tak dapat di pisahkan. Amarah dan kebencian adalah bagian dari kesesatan menuju kemungkaran. Sebab sejatinya Hati merupakan sumber dimana kebaikan dan keburukan berada. Hati mampu menggerakkan setiap tindakan kita, bahkan hati juga mampu mencerminkan sikap kita. Jauh dalam titik nur (cahaya) di hati kita, kita adalah kelam yang membutuhkan cahaya kehidupan. Sebab makna dari kecintaan adalah bagian dari keiklasan, menuju kepasrahan menata tatanan kehidupan yang lebih baik. Terkadang kita perlu merasakan kesunyian di Hati, sebab kesunyian adalah bagian dari proses pencarian kebenaran.

Dialektika (Proses perjalanan) kehidupan adalah bagian realitas perjalanan zaman, karena perubahan adalah sebuah takdir kehidupan. Dan perubahan diri menuju lebih baik akan menyelamatkan kita menjadi manusia yang lebih baik. Terkadang kita pernah meyerah atau pasrah dengan keadaan. Tetapi disini pasrah yang saya maksud bukan berkonotasi putus asa. Pasrah bukan arti dari kekalahan, pasrah adalah sebuah kesadaran untuk mawas diri, karena diri memiliki akal dan hati yang terus menerus harus dilatih. pasrah adalah bagian dari titik kesadaran yang hakiki. Menuju jati diri yang sejati, sebagai seorang makhluk tuhan yang ada di bumi.

Maka jadilah makhluk Tuhan yang tau diri, dan mengerti akan situasi, karena hidup ini adalah bagian dari pencarian jalan untuk kembali Sang Khalik. Menuju kemurnian hati dan jiwa yang bersih, tanpa rasa benci dan kedengkian yang membaluti hati dan jiwa kita yang sesungguhnya suci.

Rabu, 27 April 2016

HATTA, TAN MALAKA, SYAHRIR TRIO MINANGKABAU YANG BERSEBERANGAN JALAN




Ah .... sungguh "rahim" Minangkabau pantas berbahagia. Minangkabau yang egaliter mampu melahirkan figur-figur avant garde dalam sejarah pergerakan Indonesia yang tak-lah seragam seumpama Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Mereka bertiga ini didaulat sebagai bagian dari Bapak Revolusi Indonesia selain Soekarno. Tan Malaka yang dari Pandan Gadang, Hatta dari Batuhampar dan Syahrir yang juga kakak Rohana Koedoes dari Koto Gadang ini sama-sama egois. Selalu berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Mrazek pernah menarasikan bagaimana "egoisme ideologis" mereka bertiga ketika diskusi mengenai "arah masa depan" republik tercinta. Berawal di Berlin Jerman, di rumah salah seorang dedengkot komunis Hindia Belanda pada tahun 1920-an, Darsono namanya. Di rumah Darsono ini, tiga anak muda mereka bertemu dan berdebat panas. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen. ”Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat,” Hatta, 20 tahun, menyela. ”Itu hanya ada pada masa peralihan,” Tan menukas. Dia melanjutkan, ”Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang.”

Dalam bukunya "Memoir", Mohammad Hatta menceritakan kembali percakapan itu.

Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan komunisme bisa menjadikan Indonesia digdaya. Hatta dan Tan sudah seperti musuh. Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. Hatta menganggap Tan selalu meremehkannya. ”Dia selalu menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan,” katanya. Hatta, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan sejak di Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah ”pemberontakan” Partai Komunis Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan pimpinan revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua PKI, yang langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak. Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara dengan Soekarno sebagai sikap sentimen Tan kepadanya. Padahal, Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh dipegang orang selain komunis. Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23 September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Hatta menawari Tan ikut dalam pemerintahan. ”Tidak, dua (Soekarno-Hatta) sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja,” kata Tan. Hatta menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih muda. Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro. ”Agar mewakili semua kelompok,” katanya.

Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan Sutan Sjahrir, yang juga berasal dari Minang. Menurut Adam Malik dalam Mengabdi Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak bergabung dengan pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia menerima sepenuhnya proklamasi Soekarno-Hatta. Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir—yang menganut ideologi sosial-demokrat—ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda. Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia ”merapat” ke kubu Inggris-Amerika sebagai ”penguasa” baru nusantara. Sekutu memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap ”Bung Kecil” itu berpikiran modern dan disukai Belanda. Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi. Dalam kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang. Tentu saja ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai salah satu pemimpin tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan Jepang. Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer.

Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan, dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu. ”Kabinet parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,” katanya. Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke kubu Tan Malaka yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir medio 1940, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. ”Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan mengambil kebijaksaan sendiri,” kata Soedirman kepada Adam Malik. Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen politik di Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.

Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang terkenal sebagai politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan, tapi sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946. Situasi adem itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda Persatuan sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara. Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak begitu saja reda, sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.

Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang itu karena mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat Tan seorang raja tapi miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah secara ekonomi. Tan orang yang penuh dengan kesederhanaan, Hatta dari Bukit tinggi dan Sjahrir dari Padang panjang dari keluarga pedagang. Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima penghasilan.

Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha di Banten Selatan. Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi Marxis dimulai ketika mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di Deli. Ia melihat langsung bagaimana orang sebangsanya ditindas menjalani kuli kontrak. Berbeda dengan Hatta yang tidak pernah terlibat langsung dengan kuli kontrak, kendati sering berseberangan, hubungan pribadi Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua kali menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa, Tan menolak.

::: Sumber utama : Alfian (1981), Mrazek (1991) dan Poetze (1994)








Kamis, 21 April 2016

WARTAWAN TIGA JAMAN PEJUANG PEREMPUAN INDONESIA



Nama S.K. Trimurti yang lahir pada tanggal 11 Mei 1912 dan tutup usia pada tanggal 20 Mei 2008 pada saat itu usia 96 tahun. Beliau merupakan wartawan, penulis dan guru Indonesia namanya begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah wartawan senior yang hidup tiga zaman, beliau pernah mengambil bagian dalam gerakan Kemerdekaan Indonesia terhadap penjajahan oleh Belanda. Beliau kemudian menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja pertama di Indonesia dari tahun 1947 sampai 1948. Dia berada di Eksekutif Partai Buruh Indonesia, dan memimpin sayap wanitanya dari kelas buruh. Dia ikut mendirikan Gerwis (Gerakan Wanita Sadar), sebuah organisasi perempuan Indonesia, pada tahun 1950 Gerwis berganti nama menjadi Gerwani. Dia meninggalkan organisasi pada tahun 1965. Beliau kembali ke perguruan tinggi ketika berusia 41 tahun. Dia belajar Ekonomi di Universitas Indonesia. Beliau menolak janji untuk menjadi Menteri Sosial pada tahun 1959 dalam rangka untuk menyelesaikan gelar sarjananya. Trimurti adalah anggota dan penandatanagan Petisi pada tahun 1980, yang memprotes Soeharto dengan penggunaan petisi 's Pancasila terhadap lawan politiknya. Para penandatangan Petisi 50 yang termasuk pendukung Kemerdekaan Indonesia terkemuka serta Pemerintah dan Pejabat Militer, seperti Trimurti dan Mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Pada zaman penjajahan Belanda sudah menjalani hidup di bui (1936-1943) karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara ketika itu. Di usia tua, hidupnya tetap penuh semangat, penuh canda dan tampak semakin enteng saja menjalani hidup. Pesat, Bedug, dan Genderang yang sudah tidak lagi terbit adalah contoh nama-nama media majalah tempat dia pernah berlabuh menuangkan kemampuan intelektual jurnalistik untuk membangun bangsa.
Perempuan bertubuh mungil kelahiran tahun 1912 ini adalah istri Sayuti Melik tokoh terkenal pengetik naskah otentik Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Mereka menikah tahun 1938 namun 31 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1969 Sayuti Melik setelah menikah lagi harus menjadi mantan suami yang tetap dia hormati.
Karena orang terbiasa mengenalnya dengan nama S.K. Trimurti atau Soerastri Karma Trimurti membuat nama yang sudah masuk dalam catatan sejarah Indonesia modern tersebut terlupakan sebagai nama yang tak lebih dan tak kurang hanyalah samaran belaka.
Ketika masa kolonial Belanda, Karma dan Trimurti adalah nama samaran yang dia pakai secara bergantian untuk menghindari delik pers pemerintahan kolonial Belanda dahulu. Bukti bahwa dia berjuang melepaskan diri dari siasat kekangan delik pers Belanda adalah bahwa anak keduanya terlahir di lorong penjara saat harus menjalani hidup di bui antara tahun 1939-1943.
Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa dia menentukan sikap untuk tetap sangat tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ketegasan itu bukan hanya telah dia contohkan dengan kerelaan melahirkan seorang anak di sebuah lorong penjara, melainkan, terhadap seorang suami (Sayuti Melik) yang karena menikah lagi keduanya harus bercerai dia tetap menaruh rasa hormat sebagai mantan suami.
Kendati sudah berusia uzur Trimurti masih sempat wira-wiri ikut rapat Petisi 50 setiap hari Selasa bahkan terkadang hadir sebagai pembicara di seminar-seminar bertaraf nasional. Beruntunglah terhadap pejuang pers kemerdekaan ini masih Tuhan anugerahkan sebuah kehidupan yang berlimpah sehat walafiat di sebuah rumah sederhana miliknya di Jalan Kramat Lontar H-7 di daerah Kramat, Jakarta. Di depan rumahnya itu bajaj bebas berseliweran yang suara gaduhnya sesewaktu dapat bercampur dengan suara orang-orang lewat atau anak-anak kecil yang menangis termasuk teriakan ibu-ibu yang memanggil tukang siomai dan bakso, misalnya.
Di rumahnya yang sebagian kamarnya dia sewakan sebagai tempat indekos bagi para karyawati terdapat sebuah ruang tamu tempat menggantung lukisan Semar, tokoh pewayangan setengah dewa setengah manusia dan separuh laki-laki dan separuh perempuan yang dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa.
Nah, baru di ruang tengah rumahnya terdapat sebuah gambar ukuran 100x60 centimeter yang melukiskan seorang Presiden Soekarno yang sedang menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti. Dia tercengang mengenang sebentar, "Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami!" tutur Trimurti yang akhirnya bisa tersenyum menerawang mengingat-ingat kembali tipe Bung Karno seorang lelaki yang karismatik tapi beristri banyak.
Dia mengatakan sesungguhnya sangat loyal terhadap Bung Karno sang guru politik sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Pikiran Rakyat. Proklamator Kemerdekaan dan Presiden R.I. pertama itulah yang telah membuat dia kecemplung ke dunia jurnalisme sebab sebelumnya Trimurti sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar khusus putri di Surakarta dan Banyumas, serta di perguruan rakyat di Bandung.
Satu-satunya persoalan fisik dia yang serius adalah keterbatasan penglihatan mata sebelah kanannya yang merosot karena termakan usia, selebihnya tak ada masalah fisik lain pada perempuan tua namun masih sehat walafiat ini. Bukan peristiwa aneh jika ketika dia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah lalu tetangganya melontarkan senyum namun tak sekali pun pernah berbalas. Persoalannya Trimurti tidak bisa melihat dengan sempurna bukan karena wartawan senior ini sombong. "Wong saya baca saja pake kaca pembesar!" ujarnya penuh rasa humor.
S. K Trimurti meninggal pada 06.20 pada tanggal 20 Mei 2008 pada usia 96 Tahun, di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD) Jakarta. Setelah di rawat di rumah sakit selama dua minggu. Penyebab meninggalnya Ibu S.K Trimurti meninggal karena vena yang rusak. Beliau juga telah menderita hemoglobin level rendah dan tekanan darah tinggi.
Paska Kemerdekaan Trimurti, yang seorang advokat terkenal hak-hak pekerja, diangkat sebagai pertama di Indonesia.

Dia ikut mendirikan Gerwis, sebuah organisasi perempuan Indonesia, pada tahun 1950, yang kemudian berganti nama sebagai Gerwani. Dia meninggalkan organisasi pada tahun 1965. Dia kembali ke perguruan tinggi ketika ia berusia 41 tahun. Dia belajar ekonomi di Universitas Indonesia. Dia menolak janji untuk menjadi Menteri Sosial pada tahun 1959 dalam rangka untuk menyelesaikan gelar sarjana. Trimurti adalah anggota dan penandatangan Petisi 50 pada tahun 1980, yang memprotes Soeharto penggunaan 'S Pancasila terhadap lawan politiknya. Para penandatangan Petisi 50 termasuk pendukung kemerdekaan Indonesia terkemuka serta pemerintah dan pejabat militer, seperti Ibu Trimurti dan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

Sebuah upacara menghormati Ibu S.K Trimurti sebagai '' Pahlawan Untuk Kemerdekaan Indonesia" digelar di Istana Negara Jakarta Pusat. Beliau saat ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata





Sabtu, 28 November 2015

CINTA SEMBUHKAN SAKIT



JATUH CINTA dapat mengobati rasa sakit. Sebuah penelitian terbaru pada otak membuktikan bahwa gelora cinta yang masih segar berpotensi menjadi obat rasa sakit. Menurut penelitianjatuh cinta dapat merangsang otak, mirip stimulan yang disebabkan obat yang adiktif. Mungkin ''meresepkan sedikit hasrat percintaan dalam sebuah hubungan dapat membantu pasien yang sakit kronis dalam penyembuhan,'' ujar Sean Mackey dari Stanford University. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Plos One pada Rabu (13/10) itu merupakan tindak lanjut dari penelitian sebelumnya yang dilakukan Arthur Aron dari University of New York DI Stony Brook yang mengkaji neurologi cintaHasil penelitian itu menghubungkan fase euforia pada percintaan baru terhadap dopamin kimia di wilayah otak tertentu. Dopamin adalah kunci untuk apa yang disebut ''jalur penghargaan otak'' yang membuat mekanisme otak untuk merasa baik serta mendorong perilaku tertentu. ''Ketika orang sedang jatuh cinta, dalam banyak hal mereka mirip dengan efek ketika seseorang mengkonsumsi amfetamin. Mereka yang sedang jatuh cinta bisa menjadi sangat gembira, kehilangan nafsu makan, kurang tidur, sangat aktif dan penuh energi'' Menurut ahli dopamin, Dr. Nora Volkow. Dan ternyata ada benarnya apabila ada pepatah LOVE IS BLIND = CINTA ITU BUTAApakah anda sedang jatuh cinta ? maka besiap-siaplah efek dari jatuh cinta yang sangat luar biasa tersebut. Hal yang manusiawi apabila kita sedang jatuh cinta, karena ada reaksi kimiawi yang disalurkan oleh otak kita yang berbentuk AMFETAMIN  (zat kimia yang membuat perasaan semakin bugar, bahagia). Layaknya sebuah morfin yang membuat otak kecanduan, perasaan cinta pun ternyata bisa membuat seseorang jadi pecandu cinta. Rasa candu sendiri berasal dari pengeluaran hormon dopamin, yaitu hormon yang membuat sensasi enak, nyaman, tenang dan senang. Jadi buat yang lagi sakit mungkin ada baiknya disembuhkan dengan jatuh cinta. Bisa dengan orang yang kita sukai atau bisa dengan jatuh cinta dengan Tuhan mu.



















































Rabu, 07 Oktober 2015

FAKTA PENGORGANISIRAN BURUH DALAM PERUSAHAAN




1. PROGRAM PENYADARAN

Harapan pemahaman mengenai kesejahteraan buruh dan keluarganya sampai hari ini belum terwujud pada kenyataannya kawan-kawan buruh tersebut masih tidak perduli dengan kondisinya, dan belum berkontradiksi dengan kebutuhan hidupnya  dan faktor lainnya adalah buruh-buruh tersebut masih takut dengan pihak top manajement (kapitalisme)  yang mudah membuat pemutusan kerja sepihak. Pihak kapitalisme inilah yang menghambat buruh mendapatkan kesejahteraannya.
Kapitalisme adalah suatu tatanan sosial ekonomi dan politik yang menghamba pada kepentingan kelas pemodal (pengusaha), Pemerintah yang hari ini akan terus meraup keuntungan dari hasil kerja para buruh karena sejatinya modal tidak akan mendapatkan keuntungan tanpa adanya buruh. Kapitalisme merupakan ideologi yang dominan dalam masyarakat dan tampil diseluruh sektor kehidupan tanpa terkecuali. Revisi UU 13 Tahun 2003 kembali mereka gulirkan padahal nyata-nyata pada tahun 2006 ribuan bahkan jutaan buruh telah bersama-sama menolaknya. Hambatan pasar juga termasuk terjaganya situasi keunggulan kompratif yakni ketersediaan buruh yang siap di gaji murah namun memiliki skill yang mumpuni untuk menjalankan perkakas produksi dan teknologi perusahaan-perusahaan sang majikan. Hal lain mengenai upah yang sangat minim menjadi persoalan kita bersama karena tidak bisa kita pungkiri bahwa kawan-kawan buruh sudah cukup lama bekerja pada perusahaaan.

2. Program Politik

Persoalan kerja kontrak yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan masih menjadi hal yang harus secara serius dalam memperjuangkannya karena persoalan kerja kontrak ini sudah menyalahi dari ketentuan yang ada, persoalan kerja kontrak belum selesai kita perjuangkan sekarang malahan perusahaan-perusahaan saat ini telah menggunakan tenaga kerja outsourching untuk mendapatkan karyawan baru, maka dari itu PPI dan FPBI menilai bahwa outsourcing dan kontrak adalah bentuk penjualan manusia oleh manusia untuk mengambil hasil kerja para buruh untuk keuntungan pribadi dari pihak outsourcing maupun pihak perusahaan. Selain persoalan tersebut diatas ada hal lain yang harus menjadi focus kerja organisasi yaitu persoalan perlindungan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) yang sangat minim bahkan tidak ada disebagian perusahaan untuk melindungi buruh-buruhnya (pekerja), yang sangat memperihatinkan apabila pabrik yang bahan bakunya berupa serbuk powder yang tiap hari berproduksi, para buruh harus menghirup  secara bersama-sama serbuk yang berbahan kimia tersebut. Usia buruh-buruh tersebut masih muda tapi kita tidak tau nasib mereka setelah tua nanti dan juga nasib buruh yang usianya sudah tua tiap hari dan tiap waktu menghirup debu, serbuk-serbuk kimia tersebut.
Belum lagi kondisi yang harus dihadapi kawan-kawan buruh ini yaitu premanisme dalam perusahaan dan juga organisasi masyarakat (ormas) di perusahaan mereka yang mengancam situasi kondisi untuk mulai berorganisasi. Terkadang beberapa kawan buruh yang telah ikut berorganisasi harus berhadapan dengan mereka. Ini membuktikan bahwa premanisme dan ormas yang disewa oleh pemilik modal (perusahaan) berpihak kepada satu pihak saja. Sedangkan kawan-kawan buruh di tindas dengan kondisi tersebut. Dimana situasi kondisi ini sangat mengancam hak-hak buruh untuk mendapatkan kesejahteraan mereka. Bahkan dalam kondisi nyata para buruh yang sudah memiliki serikat harus dihadapkan dengan tenaga kerja asing yang telah masuk ke INDONESIA ini membuat buruh-buruh dan serikatnya semakin geram dengan pemerintahan sekarang. Sementara buruh Asing hampir semuanya tidak bisa berbahasa Indonesia dan paspor buruh-buruh Asing ini ternyata paspor turis bukan paspor untuk bekerja di Indonesia. Ini sangat menyalahi undang-undang yang ada di Indonesia. Bukan cuma itu, serikat buruh yang benar-benar meperjuangkan hak-hak anggotanya juga harus dihadapkan oleh serikat tandingan buatan para kapitalis (penguasaha). Dimana serikat-serikat buatan kapitalis (pengusaha) ini pada kenyataannya tidak sah di mata hukum atau bisa juga di bilang serikat ilegal belum di sahkan oleh hukum. Pada kenyataannya tripartit maupun bipartit tidak akan pernah bisa terwujud apabila salah satu pihak yang dominan (Pengusaha) menjalankan  usahanya dengan cara-cara yang curang.

Senin, 18 Agustus 2014

KEPADA KALIAN PARA SAHABAT

“Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada Kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa Kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku…..

Harus aku katakan bahwa kita belum Merdeka, karena Merdeka haruslah 100 persen. Hari ini aku masih melihat bahwa Kemerdekaan hanyalah milik kaum elit, yang mendadak bahagia menjadi borjuis, suka-cita menjadi ambtenaar….. Kemerdekaan hanyalah milik kalian, bukan milik rakyat.
Kita mengalami perjalanan yang salah tentang arti merdeka, dan apabila kalian tidak segera memperbaikinya maka sampai kapanpun bangsa ini tidak akan pernah Merdeka! Hanya para pemimpinnya yang akan mengalami Kemerdekaan, karena hanya mereka Adil Makmur itu dirasakan.

Dengarlah Perlawananku ini….. Karena apabila kalian tetap bersikap seperti ini, maka inilah hari terakhir aku datang sebagai seorang sahabat dan saudara. Esok, adalah hari dimana aku akan menjelma menjadi musuh kalian, karena aku akan tetap berjuang untuk Merdeka 100 persen.”


-Tan Malaka-